Tuesday, August 25, 2009

Kebijakan Illegal Fishing Dinilai Bermasalah Pengadilan perikanan tak bisa

*JAKARTA* – Kebijakan pemerintah untuk mengatasi *illegal fishing* di perairan yang berbatasan dengan negara tetangga dinilai bermasalah.

Kebijakannya antara lain tumpang tindih sehingga rawan menimbulkan konflik. Kapal pukat harimau, yang sudah dilarang sejak 1980, diizinkan beroperasi di perairan Kalimantan Timur bagian utara dengan Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun 2008.

Beroperasinya kapal pukat itu digunakan untuk memperkuat klaim pemerintah atas pulau-pulau di wilayah yang berbatasan dengan Malaysia. Pemerintah tak ingin tragedi kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan terulang. “Kapal pukat dijadikan simbol keberadaan Indonesia, tapi sekaligus merugikan,” kata Dedi S. Adhuri, peneliti LIPI dalam diskusi di Jakarta, kemarin.

Kapal-kapal pukat itu pun sebenarnya bukan milik nelayan Indonesia, melainkan pemodal Malaysia. Mereka bekerja sama dengan nelayan setempat untuk memperoleh izin administratifnya, padahal hasil tangkapannya dijual di Malaysia. Ketika ditangkap, yang terjerat hanya anak buah kapal, sedangkan pemodalnya lolos.

Menurut Adhuri, di perairan yang berbatasan dengan Australia, penangkapan nelayan ilegal juga marak. Hanya, yang dianggap melakukan pencurian ikan adalah nelayan Indonesia karena dianggap melanggar batas wilayah. Pada 2005-2006 Australia menangkap 367 kapal dengan 2.650 orang awak, dan 532 orang dituntut di pengadilan.

Nelayan terdorong faktor ekonomi sehingga nekat menerobos perbatasan. Nelayan biasanya mencari sirip ikan hiu, teripang, dan trokus untuk dijual ke Hong Kong dan Taiwan. Harga jual komoditas tersebut relatif mahal--sirip ikan hiu per kilogram bisa mencapai Rp 1 juta lebih.

Menurut Dedi, pemerintah bisa membuat kebijakan untuk mengalihkan mata pencaharian penduduk sebagai nelayan. Di antaranya, nelayan bisa diminta beralih dengan mengembangkan rumput laut, mutiara, atau bidang yang sama sekali berbeda dari sektor perikanan. Jika tak diatasi, kegiatan *ilegal fishing* tersebut jelas menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Riza amanik, mengatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia lemah. Ia mencatat, di lima pengadilan perikanan yang ada di Indonesia, setiap tahun hanya diproses 20-22 kasus. Dari kasus-kasus yang diproses di pengadilan, tak satu pun yang bisa menjerat pemilik modalnya. Semua kasus hanya sampai pada pemberian hukuman pada anak buah kapal. “Ini menunjukkan betapa lemahnya hukum kita,” katanya.

Kebijakan pemerintah melalui peraturan perundang-undangan sebenarnya sudah cukup lengkap tetapi tetap saja masih ada celahnya. Di antaranya, tidak ada definisi terperinci tentang kapal sehingga ada macam-macam interpretasi tentang definisi kapal pukat.

Menurut dia, memang diperlukan suatu pengadilan regional di tingkat Asia Tenggara untuk mengatasi *illegal fishing*. Namun, dia mengingatkan, penegakan hukum yang dilakukan Indonesia dan negara tetangga harus lebih tegas.

Dalam acara Sail Bunaken 2009 beberapa hari yang lalu, sejumlah negara anggota Regional Plan of Action, yakni negara-negara ASEAN dan Australia, menyepakati dibentuknya sistem pengadilan di wilayah regional untuk menyidangkan kejahatan pencurian ikan. *AQIDA SWAMURTI *

ads

0 comments: